Setiap harinya di kota Sao Paulo, Brasil, terdapat
tiga warga Brasil yang masuk Islam. Demikian berita sebagaimana
dilansir oleh salah satu lembaga Islam di negeri itu. Namun lembaga
tersebut belum mendapatkan informasi secara pasti mengenai jumlah kaum
muslimin di Brasil.
Sedangkan menurut otoritas Islam yang ada, muslim di Brasil berjumlah
sekitar 1 juta hingga 1,5 juta orang. Jumlah itu tampaknya merupakan
jumlah akumulatif yang menghitung jumlah kaum muslimin, baik para
imigran maupun penduduk asli Brasil yang telah masuk Islam. Berdasarkan
surat kabar terbitan setempat, jumlah penduduk muslim di Brasil sekitar
56.000 sampai 70.000 orang.
Mayoritas penduduk Brasil yang masuk Islam berasal dari kalangan pemuda
dan pemudi. Fenomena ini menunjukkan, Islam tengah mendapat sambutan
hangat di Brasil. Sejumlah pengamat mengatakan, biasanya fenomena
tersebut diawali adanya kerusakan moral dalam keluarga dan
ketidakstabilan keluarga mereka. Dalam pencarian mereka, mereka pun
kemudian masuk Islam ketika mereka mempelajari isi kandungan ajaran
Islam yang menurut mereka dapat membawa solusi bagi permasalahan yang
tengah mereka hadapi.
Sejak kapan agama Islam masuk ke Brasil? Dari berbagai tulisan
disebutkan, Islam masuk ke Brasil sejak abad ke-16 dan 17 Masehi melalui
para budak dari Afrika yang menggunakan bahasa Portugis. Sejak itu,
agama Islam berkembang di negara ini. Beberapa waktu kemudian, agama
Islam kemudian semakin berkembang dengan adanya kedatangan para imigran
Arab.
Dibawa oleh para Budak
Sejarah Islam di Brasil dimulai dengan masuknya orang-orang Afrika dalam
bentuk perbudakan. Sejak tahun 1550, orang Portugis telah menggunakan
budak bangsa Afrika untuk bekerja di kebun tebu yang sebelumnya
dimusnahkan oleh penduduk setempat. Brasil menerima 37% dari seluruh
budak Afrika yang diperdagangkan, berjumlah sekitar 3 juta orang.
Sebagian sarjana menyatakan, Brasil merupakan negara Amerika yang paling
banyak menerima muslim bangsa Afrika. Tahun 1835, di Bahia, muslim
berbagai bangsa pernah mengadakan suatu pemberontakan. Peristiwa itu
menyebabkan banyak orang terbunuh.
Sejak itu, Portugis berjaga-jaga terhadap Afro-muslim, termasuk memaksa
mereka menganut agama Katolik. Walaupun demikian, komunitas muslim di
Brasil tidak dapat dienyahkan begitu saja. Hingga tahun 1900, tercatat
masih terdapat 10.000 Afro-muslim yang hidup di Brasil.
Setelah masa asimilasi paksa terhadap Afro-muslim, perkembangan Islam di
Brasil telah memasuki suatu era yang baru dengan adanya imigran muslim
Timur Tengah ke negara ini. Kebanyakan mereka berasal dari Suriah.
Berdasarkan sejarah tradisional Brasil, penemuan negara ini tidak
terlepas dari penjelajah Portugis bernama Pedro Alvarez Cabral.
Belakangan, sumber sejarah terbaru menyodorkan satu fakta berbeda bahwa
penemu Brasil adalah penjelajah asal Spanyol.
Semakin banyak ahli sejarah, baik muslim maupun non-muslim, kian
menyadari kuatnya kehadiran muslim di periode awal penemuan Amerika.
Bukti itu diperkuat dengan penemuan prasasti bertuliskan nama Allah.
Dalam bahasa asli orang Amerika, bisa ditemukan dengan mudah kata-kata
asli Arab.
Menurut sebagian pengamat dan sejarawan, nama beberapa kota di Brasil
yang sering dikaitkan dengan bahasa asli orang Amerika, sebenarnya lebih
cocok dikatakan sebagai bahasa Arab asli. Bahkan, apabila seluruh
informasi ini dikonfirmasikan dan dicatat sebagai bagian dari sejarah
Brasil, bisa jadi Brasil ditemukan oleh seorang muslim.
Selain itu, melalui budak muslim yang dibawa dari Afrika, dapat pula
diidentifikasi pengaruh kebudayaan Islam, meski sebagian besar cenderung
terdistorsi belakangan ini. Bukti ini bisa ditemui di bagian timur laut
Brasil.
Walhasil, sejak ditemukannya Brasil pada abad ke-15 dan didatangkannya
para budak dari barat dan utara Afrika, dunia Latin mulai dikenalkan
pada Islam. Para budak dan orang Spanyol ini hidup tersebar di Brasil,
Venezuela, Kolombia, dan Kepulauan Karibia. Sebagian besar muslim saat
itu adalah para budak.
Tapi, dalam beberapa kasus, termasuk setelah peristiwa pemberontakan di
Bahia, mereka diharuskan mengganti kepercayaannya secara terpaksa. Dan,
seiring dengan berjalannya waktu, Islam pun menghilang dari
negara-negara Amerika Latin, termasuk Brasil.
Pada akhir abad ke-16, setelah pembebasan para budak, muncul komunitas
muslim. Para budak yang dibebaskan ini membentuk komunitas bersama
dengan imigran dari India dan Pakistan. Berdasarkan beberapa dokumen,
selama tahun 1850 dan 1860, terjadi imigrasi besar-besaran muslim Arab
ke tanah Amerika.
Sebagian besar mereka datang dari Suriah dan Lebanon. Mereka menetap di
Argentina, Brasil, Venezuela, dan Kolombia. Sebagian juga tinggal di
Paraguay, bersama-sama dengan imigran dari Palestina, Bangladesh, dan
Pakistan.
Imigrasi ini berlangsung secara terus-menerus dan mulai berkurang pada
tahun ‘50-an. Sementara di Kolombia, pengurangan imigran terjadi pada
dekade ‘70-an. Hingga kini masih banyak yang menetap di Brasil dan
Venezuela.
Komunitas ini, seperti halnya di Amerika Serikat, membaurkan dirinya
dengan kegiatan nasional, bekerja keras dan mencintai negara yang
menaunginya. Banyak di antara mereka yang menciptakan komunitas Islam,
mendirikan pusat dakwah Islam dan masjid. Semua itu membuktikan, Islam
bukanlah barang asing bagi kebudayaan Brasil, melainkan bagian penting
dari kebudayaan Brasil. Setidaknya, itulah pandangan Maria Moreira,
muallaf Brasil yang kini tinggal di Mesir dan pengajar di Universitas
Rio de Janeiro. Karena itu, Maria optimistis, Islam bisa diperkenalkan
kepada masyarakat Brasil secara lebih luas.
Baru dalam Tahap Menghadirkan
Brasil pernah mencatat sejarah dalam penyebaran Islam di Amerika Latin.
Masjid pertama kali yang dibangun di wilayah itu adalah Masjid Raya Sao
Paulo di Brasil, yang mulai digagas tahun ‘30-an. Tahun 1939,
tokoh-tokoh muslim Brasil saweran membeli lahan.
Peletakan batu pertamanya dilakukan pada tahun 1948 dan baru berakhir
pembangunannya tahun 1960. Lamanya pembangunan masjid tak lepas dari
sulitnya upaya penggalangan dana yang dilakukan umat Islam di negeri
tersebut. Begitu pembangunan masjid rampung, umat Islam sudah tersebar
ke seantero Brasil. Di daerah-daerah baru itu, mereka juga mendirikan
masjid. Jumlah masjid pun kian berkembang dan tak hanya di Sao Paulo.
Sedangkan madrasah mulai berdiri di Brasil sejak tahun ‘60-an.
Pertama kali madrasah berdiri di Sao Paulo, daerah yang paling banyak
dihuni umat Islam. Setelah itu, berdiri pula madrasah di wilayah Cortiba
dan beberapa tempat lainnya. Madrasah digunakan sebagai semacam
diniyah, yaitu untuk mengajarkan ilmu agama dan bahasa Arab.
Islam memang sudah hadir di negara ini sejak lebih dari 500 tahun. Namun
muslim di negara ini merupakan minoritas. Saat polemik pemuatan
karikatur Nabi SAW menyeruak, negara ini adem ayem saja. Mereka menempuh
“cara sopan” dalam memprotes karikatur itu, bukan dengan turun ke
jalan, tapi lebih pada seruan introspeksi. "Tunjukkan kepribadian
Rasulullah SAW melalui diri Anda," begitu seruan para pemimpin muslim di
negara itu.
Dakwah Islam di Brasil tampaknya masih lebih ditujukan bagi komunitas
mereka sendiri. Mereka, yang sebagian besar tinggal di kawasan Sao Paulo
dan Parana, adalah komunitas muslim yang kebanyakan asal Lebanon yang
meninggalkan negaranya ketika terjadi perang saudara.
Mayoritas penduduk Brasil adalah penganut Katolik yang sangat taat.
Bahkan negara ini salah satu negara Katolik terbesar di dunia. Namun
saat ini, Katolik telah banyak kehilangan pengikut di negara yang
penduduknya dikenal gila sepakbola ini.
Masih minimnya penganut Islam di negara ini dikaitkan dengan kandungan
kebudayaan Latin yang banyak bergesekan dengan ajaran Islam. Kebudayaan
Brasil dipenuhi dengan aneka permainan, menari-nari dengan membuka
aurat, dan sederet aktivitas budaya yang bertentangan dengan ajaran
Islam.
Syaikh Khalil Saifi, koordinator The Center of Divulgation of Islam to
Latin America, yang berpusat di Sao Bernardo do Campo, menyatakan,
dakwah Islam di negeri ini baru sebatas menghadirkan Islam dan membantu
masyarakat Brasil mengenal Islam. Selain itu juga memelihara hubungan
mereka dengan bahasa dan juga kebudayaan Islam. "Orang Brasil yang
datang ke sini pastilah sebelumnya bersentuhan terlebih dahulu dengan
komunitas muslim Arab," ujarnya.
Problem lainnya, saat ini Brasil amat kekurangan dai dan guru agama,
meski masjid dan madrasah banyak berdiri di Brasil. Kondisi ini memang
sangat disayangkan. Pada saat masjid dan madrasah sudah berdiri, juru
dakwah dan mereka yang berpengalaman dalam bidang agama masih sangat
minim sehingga pengelolaannya tidak maksimal.
Mingguan berbahasa Arab, Al-'Alam Al-Islamy, edisi 29 Agustus lalu,
mengungkapkan, umat Islam di Brasil sejak lama telah berupaya untuk
mendirikan sarana ibadah berupa masjid dan madrasah. Bagi mereka, upaya
ini tentu bukan hal yang mudah. Islam merupakan minoritas.
Sayangnya, setelah sekian lama mereka bekerja keras dan kemudian
terwujud bangunan masjid dan madrasah tersebut dalam jumlah yang
memadai, kekurangan sumber daya manusia menghadang. "Kegiatan dakwah
masih jalan di tempat," tulis mingguan berbahasa Arab itu. Banyak faktor
yang menyebabkan itu terjadi. Minimnya juru dakwah dan orang-orang yang
berpengalaman di bidang tersebut menjadi kendala.
Sepertiga Masjid Ditutup
Di kawasan Amerika Selatan, Brasil merupakan negara terbesar, baik dari
luas wilayah maupun jumlah penduduk (180 juta jiwa). Negara yang menjadi
gudangnya pesepakbola terkenal di dunia ini juga merupakan pusat agama
Katolik di wilayah tersebut.
Untuk meneguhkan status itu, orang-orang Brasil pun membangun sebuah
patung Yesus Kristus dalam ukuran cukup besar, tahun 1850-an. Terletak
di puncak Bukit Corcovado, Rio de Janeiro, patung yang dinamakan Cristo
Redentor ini bahkan pernah diusulkan menjadi satu dari sekian keajaiban
dunia.
Di tengah dominasi Nasrani, agama Islam terus berupaya mengembangkan
diri. Ya, umat muslim memang eksis di sini, bahkan telah ada sejak
beberapa abad lampau. Geliat Islam terbilang cukup baik. Dan, itu
ditunjang situasi di dalam negeri yang kondusif. Brasil merupakan negara
yang memiliki keanekaragaman etnis, budaya, dan keagamaan.
Semua komunitas maupun golongan memiliki kesempatan sama untuk
berkembang. Islam, misalnya. Jumlah masjid di Brazil hingga kini
tercatat sekitar 120 unit. Begitu pula dengan pusat-pusat Islam, yayasan
amal, dan organisasi-organisasi keagamaan. Seperti diungkapkan Al-Sadiq
Al-Othmani, kepala Departemen Urusan Islam pada Pusat Dakwah Islam di
Amerika Latin, umat Islam merasakan sebuah suasana toleransi. ''Mereka
bebas untuk berdoa dan membangun masjid,'' katanya.
Peluang ini pun tak disia-siakan. Umat muslim setempat terus
menggencarkan dakwah Islam. Tak hanya lewat jalur konvensional, seperti
di masjid atau pusat keislaman, dakwah juga dilakukan melalui media
elekronik maupun internet. Selama ini untuk berkhutbah, kata Othmani,
para dai dan relawan harus menempuh perjalanan selama dua hingga tiga
jam untuk mencapai masjid di dalam kota.
Bayangkan apabila masjid yang akan dituju berada di luar kota, waktu
yang dibutuhkan bisa jadi 12 jam. ''Maka itu, melalui internet, sebuah
khutbah akan dapat langsung diakses oleh umat di berbagai kota sehingga
lebih efisien dan efektif,'' katanya.
Namun demikian, belakangan ini dakwah yang dilakukan mulai menemui
kendala. Berbagai media melansir laporan bahwa sejumlah masjid di Brazil
ditutup karena kekurangan imam dan dai. ''Ada sepertiga jumlah masjid
yang ditutup,'' kata Othmani. Menurut Khaled Taqei Al-Din, seorang imam
di Sao Paolo, dari 120 masjid yang ada, hanya ada sekitar 40 imam dan
khatib. Itu pun hanya sedikit yang menyelesaikan pendidikan syari’at di
tingkat perguruan tinggi.
Segenap umat di sana berharap dukungan dari negara-negara muslim untuk
memakmurkan dakwah di Brasil. ''Terutama penyediaan buku-buku rujukan
yang ditulis dalam bahasa kami,'' katanya.
Pengurus Islamic Center Kawasan Amerika Latin, lembaga yang
mengoordinasikan kegiatan dakwah di wilayah itu, juga tak tinggal diam.
Menurut pemimpin Islamic Center tersebut, Sheikh Ahmed bin Ali
Al-Swayfiy, mereka sedang mengupayakan penerjemahan beberapa buku
keislaman ke bahasa Portugis. ''Intinya, jangan sampai kegiatan dakwah
terhambat,'' katanya.
Sayang sekali memang, kini masjid, mushalla, dan madrasah-madrasah
tersebut banyak yang tutup, dan bisa jadi kehilangan ghirahnya karena
kurangnya tenaga pendakwah di sana.
Sumber : http://madinatulilmi.com/?prm=posting&kat=5&var=detail&id=233
Rabu, 05 September 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Komentar
.........
0 komentar:
Posting Komentar