MONUMEN RAWAGEDE adalah sebuah Taman Makam Pahlawan para pejuang
khususnya yang tewas pada pembantaian Massal Rawa Gede. Monumen ini
didirikan untuk mengenang Pembantaian Masal yg menewaskan
+ 431
orang warga sipil pada tahun 1947 oleh Belanda. Monumen Rawagede
terletak di Desa Balongsari, Kec. Rawamerta, Kab. Karawang, JABAR
berdiri tegak sejak 1996 . Monumen ini salah satu saksi bisu dari
sejarah betapa sadis dan kejinya penjajah Belanda pada saat itu, dengan
tanpa ampun dan berprikemanusiaan membantai habis setiap warga yang
terlihat dan tidak mau memberikan informasi. Monumen Rawa Gede salah
satu bukti bahwa Kota Karawang layak dan pantas berpredikat KOTA PANGKAL
PERJUANGAN.
Perjuangan warga Rawagede dan sekitarnya bukti
nyata bahwa Kemerdekaan bangsa Indonesia adalah hasil perjuangan dengan
tumbal darah, harta, dan nyawa rakyat Indonesia, bukan kemerdekaan hasil
dari kasihan, simpati, dan pemberian sia - sia dari Belanda.
Peristiwa Pembantaian di Rawagede
Di Jawa Barat, sebelum Persetujuan Renville ditandatangani, tentara
Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember, terus
memburu laskar-laskar Indonesia dan unit pasukan TNI yang masih
mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Yang ikut ambil bagian dalam
operasi di daerah Karawang adalah detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e
para compagnie) dan 12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari
pasukan para dan DST (Depot Speciaale Troepen).
Dalam operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda mencari Kapten
Lukas Kustario, komandan kompi Siliwangi -kemudian menjadi Komandan
Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi- yang berkali-kali
berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Di wilayah
Rawagede juga berkeliaran berbagai laskar, bukan hanya pejuang Indonesia
namun juga gerombolan pengacau dan perampok.
Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang Mayor
mengepung desa Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun mereka tidak
menemukan sepucuk senjatapun. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk
keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang.
Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka
ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satupun
rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.
Perwira Tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua
penduduk laki-laki, termasuk para remaja dan bahkan ada yang baru
berusia 11 dan 12 tahun. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke
hutan, walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia 83 tahun
menuturkan, bahwa dia bersama ayah dan para tetangganya sekitar 20 orang
jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Ketika tentara Belanda memberondong
dengan senapan mesin –istilah penduduk setempat: “didredet”- ayahnya
yang berdiri di sampingnya tewas kena tembakan, dia juga jatuh kena
tembak di tangan, namun dia pura-pura mati. Ketika ada kesempatan, dia
segera melarikan diri.
Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada
pengadilan, tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan,
tentara Belanda di Rawagede juga melakukan yang mereka namakan eksekusi
di tempat (standrechtelijke excecuties). Tindakan yang jelas merupakan
kejahatan perang. Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431, karena
banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.
Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa
tersebut. Yang tersisa hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya,
setelah tentara Belanda meninggalkan desa tersebut, para wanita
menguburkan mayat-mayat dengan peralatan seadanya. Seorang ibu
menguburkan suami dan 2 orang putranya yang berusia 12 dan 15 tahun.
Mereka tidak dapat menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm
saja. Untuk pemakaman secar Islam, yaitu jenazah ditutup dengan potongan
kayu, mereka terpaksa menggunakan daun pintu, dan kemudian diurug tanah
seadanya, sehingga bau mayat masih tercium selama berhari-hari.
Pimpinan Republik mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada Committee
of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari
PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi
militer tersebut yang mereka sebut sebagai “deliberate and ruthless”,
tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk
memandang pembantaian rakyat yang tak bedosa sebagai kejahatan perang
(war crimes).
Tahun 1969 berdasarkan keputusan sidang Parlemen Belanda, Pemerintah
Belanda membentuk tim untuk meneliti kasus-kasus
pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara tentara kerajaan
Belanda (KL, Koninklijke Landmacht dan KNIL, Koninklijke
Nederlands-Indische Leger) antara tahun 1945 – 1950. Hasil penelitian
disusun dalam laporan berjudul “Nota betreffende het archievenonderzoek
naar gegevens omtrent excessen in Indonesië begaan door Nederlandse
militairen in de periode 1945-1950”, disingkat menjadi De Excessennota.
Laporan resmi ini disampaikan oleh Perdana Menteri de Jong pada 2 Juni
1969. Pada bulan Januari 1995 laporan tersebut diterbitkan menjadi buku
dengan format besar (A-3) setebal 282 halaman, dengan kata pengantar
dari Prof Dr Jan Bank, guru besar sejarah Universitas Leiden. Di
dalamnya terdapat sekitar 140 kasus pelanggaran/ penyimpangan yang
dilakukan oleh tentara Belanda. Dalam laporan De Excessen Nota yang
hampir 50 tahun setelah agresi militer mereka- tercatat bahwa yang
dibantai oleh tentara Belanda di Rawagede “hanya” sekitar 150 orang.
Juga dilaporkan, bahwa Mayor yang bertanggungjawab atas pembantaian
tersebut, demi kepentingan yang lebih tinggi, tidak dituntut ke
pengadilan militer.
Di Belanda sendiri, beberapa kalangan dengan tegas menyebutkan, bahwa
yang dilakukan oleh tentara Belanda pada waktu itu adalah kejahatan
perang (oorlogs-misdaden) dan hingga sekarang masih tetap menjadi bahan
pembicaraan, bahkan film dokumenter mengenai pembantaian di Rawagede
ditunjukkan di Australia. Anehnya, di Indonesia sendiri film dokumenter
ini belum pernah ditunjukkan
sumber : http://sudartokarim.blogspot.com/2010/04/monumen-rawagede-didirikan-untuk.html